Senin, 13 Juni 2011

Putus Cinta, Putus Harapan?

Erwin Arianto
Thu, 06 Dec 2007 19:44:32 -0800
Putus Cinta, Putus Harapan?


Ketika Putri mendadak memutuskan cintanya, Irfan berubah jadi pemurung.
Dan ketika gadis pujaannya itu menikah diam-diam di Surabaya,
Irfan betul-betul frustrasi. Dia tak mau makan-minum, sehingga akhirnya
terkena tifus. Betapa ironis, ketika mantan kekasihnya tengah menikmati
bulan madu di Bali, dia justru terbaring di rumah sakit. Lalu, apakah
yang dapat dilakukan seorang ayah untuk menghibur anak lelakinya yang
patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat juangnya yang hampir mati?
Irfan adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia selalu jadi bintang
kelas. Namun, anak itu pendiam dan perasa. ''Kamu betul-betul menuruni
darah Ayah. Selalu serius, mendalam, dan penuh ketulusan kalau mencintai
perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betulterpuruk. Padahal,
seperti kata peribahasa, dunia ini tidak sedaun kelor. Di dunia ini
begitu banyak wanita, Nak,'' ujarku saat berbicara dari hati ke hati
sepulangnya ia dari rumah sakit. ''Tapi tidak ada yang secantik dan
sebaik Putri, Yah. Dia yang dulunya tak pakai kerudung, kini mulai
belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika keislamannya semakin
sempurna, kok dia tega meninggalkan saya dan menikah dengan manajer
perusahaan elektronik itu?''

''Sudahlah, Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita memang selalu
kelihatan indah. Begitu pula kalau kita kehilangan perempuan yang kita
cintai. Mata kita tertutup bahwa di sekeliling kita masih banyak
perempuan lain yang mungkin lebih baik dari dia.''

''Aku baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan kuliah, waktuku
lebih banyak aku habiskan untuk belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.''

''Ayah paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu Ayah
mengalami nasib yang mirip kamu. Cinta tak kesampaian, padahal Ayah
dan Rini, nama perempuan itu, sama-sama saling mencintai.
Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah mampu menghilangkan
bayang wajahnya. Sampai kemudian, lima tahun setelah itu, Tuhan
mempertemukan Ayah dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika
itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang mengincar ibumu.
Entahlah, kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang ketika itu masih
berstatus mahasiswa dan belum punya pekerjaan, kecuali menjadi penulis
free lance di koran. Kami menikah hanya dua minggu sejak pertama kali
bertemu.'' Irfan termenung. Mungkin ia merenungkan kalimat demi kalimat
yang tadi aku ucapkan.

''Nak, laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua, makin bersantan.
Biarpun jelek, botak dan gendut, kalau punya kedudukan, berharta, dan
terkenal, maka gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk
sekadar jadi teman kencan maupun istri sungguhan.''

''Benarkah?''

''Ya. Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan novelis top saja,
Ayahmu ini seringkali digilai oleh perempuan-perempuan muda. Mereka
berusaha mencuri perhatian Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak
kuat iman, Ayah mungkin sering kencan dengan banyak perempuan. Kalau
Ayah kurang sabar, Ayah mungkin beristri dua, tiga, atau bahkan empat.''

''Apa yang membuat Ayah bertahan?''

''Ibumu. Dia perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan, kehangatan dan
kasih
sayangnya luar biasa. Hal itu telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum
punya apa-apa, belum diperhitungkan orang, bahkan dilirik sebelah mata
pun tidak. Kami menikah dalam keadaan miskin. Bahkan cincin kawin untuk
ibumu baru Ayah belikan lima tahun setelah pernikahan.
Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan hanya nasi dan garam
saja. Namun tak pernah sekalipun Ayah mendengar ibumu mengeluh atau
menunjukkan air muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha
membesarkan hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa Ayah suatu hari
nanti akan jadi orang hebat di bidang sastra maupun jurnalistik.
Dua puluh delapan tahun perkawinan dengan ibumu sungguh merupakan
perjalanan hidup yang amat berarti bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah
tak pernah mau berpaling kepada perempuan lain. Rasanya sungguh tak
adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya uang, Ayah lalu
mencari perempuan lain untuk membagi cinta ataupun sekadar
bersenang-senang.''

''Ayah beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu. Tapi aku?
Satu-satunya perempuan yang aku cintai kini telah pergi.''

''Jangan menyerah dulu, Nak. Cuti doktermu 'kan masih tiga hari lagi.
Bagaimana kalau besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita
santai dan cari makan yang enak. Siapa tahu kamu bisa melupakan Putri-mu dan
mendapatkan pengganti yang lebih baik.'' Irfan tidak langsung menjawab.
''Ayolah, Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di jok
depan. Oke?''

Lama baru Irfan mengangguk. ''Baiklah, Ibu ikut?''

''Tidak. Ini urusan laki-laki, Nak,'' sahutku seraya tertawa.
Hari pertama aku mengajak Irfan berkeliling Mal Pondok Indah. Mal yang
terletak di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan itu selalu ramai
dikunjungi orang-orang berduit. Hanya dalam hitungan jam kita bisa
menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda, cantik dan seksi,
keluar masuk mal. Umumnya mereka mengenakan pakaian yang menonjolkan
lekuk-lekuk fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan
punggungnya.

Seusai Maghrib aku mengajak Irfan nonton film di Kartika Chandra 21 yang
terletak kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto.
Di sini banyak sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya
perempuan-perempuannya mengenakan gaun malam yang seksi dan terbuka.
Banyak juga yang memakai rok mini ataupun celana blue jean ketat di
bawah pinggang sehingga sering kali memperlihatkan celana dalam
pemakainya.

Hari kedua aku mengajak Irfan pergi ke kantor sebuah bank syariah.
''Ayah mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka rekening khusus zakat.
Mau ikut masuk?'' Irfan mulanya enggan. ''Ayolah.'' Akhirnya ia mau juga
ikut. Kami menemui salah seorang customer service officer. Laili
namanya. ''Assalaamu'alaikum, Pak Irwan. Ada yang bisa saya bantu?''
suaranya bening dan terkesan manja, namun tidak dibuat-buat. Balutan
jilbab coklat itu tak mampu menyembunyikan posturnya yang semampai dan
wajah selembut kabut. ''Wa'alaikumsalaam, Mbak Laili. Saya ingin membuka
rekening khusus untuk zakat. Oh, ya, kenalkan ini anak sulung saya.
Irfan. Irfan, ini Mbak Laili.'' ''Assalaamu'alaikum, Mas Irfan.''
''Wa'alaikumsalaam, Mbak Laili.'' ''Irfan kerja di gedung ini juga, Mbak
Laili. Lantai 12.'' ''Oh, ya?'' Laili agak terkejut. ''Kalian pasti
enggak pernah bertemu 'kan? Inilah penyakit zaman modern, orang-orang
berkantor di satu gedung tapi bisa bertahun-tahun tak pernah berjumpa,''
kataku sambil tertawa.

Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum. ''Soalnya Mas Irfan enggak
pernah buka tabungan di bank syariah. Duitnya disimpan di bank
konvensional semua ya?'' Laili punya selera humor yang bagus. Kulihat
Irfan tersenyum kecil. ''Insya Allah saya akan buka rekening di bank
syariah, Mbak.''

Keluar dari bank syariah itu, aku mengajak Irfan menghadiri pameran buku
Islam di Istora Senayan Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan
penerbit Islam itu setiap hari dihadiri oleh puluhan ribu orang. Berbeda
dengan pemandangan di Mal Pondok Indah dan KC-21, di sini kebanyakan
perempuan muda yang datang mengenakan jilbab. Wajah mereka kelihatan
bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang jelalatan mencari
perhatian lelaki.

Seusai menonton pameran buku, aku mengajak Irfan mampir di Hotel Gran
Melia, yang terletak di Jl HR Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan
pisang goreng keju. ''Oke. Mari kita bahas perjalanan dua hari kita.
Kamu masih ingat perempuan-perempuan muda di Mal Pondok Indah dan KC-21
kemarin?'' Dia cuma mengangguk. ''Wanita-wanita seperti itu menyenangkan
untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum tentu membuatmu
bahagia. Sebaliknya perempuan-perempuan muda berjilbab yang kita
saksikan di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka lebih
mungkin membuatmu menjadi seorang lelaki yang dihargai dan meraih
kebahagiaan sejati. Ayah yakin, di antara mereka itu pasti ada perempuan
impian.''

''Seperti apakah perempuan impian itu, Yah?'' Aku menyeruput es lemon
tea yang tinggal separoh. Kemudian mencomot sepotong pisang goreng keju.
Irfan menunggu dengan tidak sabar. ''Seperti apa, Yah?''

''Kalau kamu bertemu dengan seorang perempuan yang berpadu pada dirinya
kehangatan seorang Siti Khadijah, serta kemanjaan dan kecerdasan seorang
Siti Aisyah dua di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan
impian.'' ''Seandainya aku menjumpai perempuan yang seperti itu, apa
yang harus aku lakukan?'' ''Jangan tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah
saat itu juga. Ayah akan segera melamarkannya untukmu, dan kau harus
menikah dengannya paling lambat seminggu setelah itu. Jika kamu
mendapatkan perempuan seperti itu dalam hidupmu, dunia ini kecil dan
nyaris tak berarti. Rasul pernah berkata, bahwa seorang perempuan yang
salehah lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.''

Seminggu kemudian. Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian
bus way di Jakarta ketika HP-ku berdering. Dari Irfan: ''Ayah, aku sudah
dapatkan calon istri. Seorang wanita salehah yang bisa membuatku hidup
bahagia.'' Suaranya terdengar bersemangat. ''Oh, ya, siapa namanya?''
''Nantilah Ayah akan aku kenalkan.'' Berselang lima menit kemudian,
Yanti, staf humas bank syariah menelepon. ''Assalaamu'alaikum, Pak
Irwan. Tadi Irfan buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup
lama dengan salah seorang customer service officer kami. Bapak pasti
tahu yang saya maksudkan.'' Aku menutup Nokia 9210i itu. Lalu memandang
ke luar jendela kantor. ''Alhamdulillah. Akhirnya kau temukan perempuan
impianmu, Nak.''
Sumber Uknown

"Jika memilih untuk mencintai, bersiaplah untuk kehilangan, bersiaplah untuk
tersakiti"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar